Oleh Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.a.
فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّمِنَ الْاَنْعَامِ اَزْوَاجًاۚ يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِۗ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ لَهٗ مَقَالِيْدُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ ۗاِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri dan (menjadikan pula) dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan(-nya). Dia menjadikanmu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Milik-Nyalah perbendaharaan langit dan bumi. Dia melapangkan rezeki dan menyempitkan(-nya) bagi siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa Dia adalah Pencipta langit (as-samawat) dan bumi (al-ardh). Al-Imam Al-Baghawi menjelaskan bahwa kata “فَاطِرُ” (Fatir) dalam ayat ini bermakna “خَالِقُهُمَا” (Khaliquhuma), yaitu Pencipta keduanya. Sementara itu, Al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa “فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ” berarti “خَالِقُهُمَا وَبَيْنَهُمَا” (Khaliquhuma wa bainahuma), yakni Allah yang menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya.
Dengan demikian, ketika Allah menjelaskan bahwa Dia adalah Pencipta langit dan bumi, bukan berarti hanya menciptakan keduanya saja, melainkan juga segala sesuatu yang ada di antara keduanya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir. Segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, termasuk manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, air, laut, gunung-gunung, dan lainnya, diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ayat ini merupakan bentuk penegasan (ta’kid) terhadap Rububiyah Allah, bahwa Dialah satu-satunya yang menciptakan segala sesuatu. Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada di antara keduanya. Seorang hamba yang memiliki tauhid rububiyah yang kuat akan meyakini hal ini dengan penuh kesadaran, sehingga keyakinan tersebut terus hidup dalam pikirannya, benaknya, bahkan dalam alam bawah sadarnya. Dengan keyakinan tersebut, ia tidak akan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak akan durhaka terhadap perintah-Nya, sebab ia sadar bahwa hanya Allah yang menciptakan semuanya, termasuk dirinya sendiri dan hal-hal yang lebih besar dari penciptaan dirinya.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat lain:
لَخَلْقُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ أَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ ٱلنَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ghafir: 57)
Dalam Al-Qur’an juga disebutkan istilah هُنَّ لِبَاسٌۭ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌۭ لَّهُنَّ:
“Mereka (para istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Makna “libas” dalam ayat ini bukan sekadar sesuatu yang melindungi, karena banyak hal yang bisa melindungi tubuh kita, seperti kardus atau seng, tetapi tentu tidak memberikan kenyamanan. “Libas” dalam ayat ini bermakna sesuatu yang melekat erat, tanpa batas, serta memberikan perlindungan dan kenyamanan. Itulah makna qawwam yang sebenarnya. Seorang laki-laki harus menyadari bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuknya, sebagaimana perempuan juga harus menyadari bahwa ia diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Oleh karena itu, sudah sepantasnya perempuan menghormati dan menaati suaminya.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Perempuan mana saja yang meninggal dunia dalam keadaan suaminya ridha kepadanya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi, no. 1161, dinyatakan hasan oleh Al-Albani)
Kesadaran ini sangat penting, sehingga tidak perlu dipertentangkan dalam perjuangan kesetaraan gender yang seolah-olah menggambarkan laki-laki dan perempuan sebagai musuh yang saling berlawanan, satu di atas dan satu di bawah, satu ke utara dan satu ke selatan, satu ke barat dan satu ke timur, terus-menerus bertentangan. Padahal, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dari diri mereka masing-masing agar saling melengkapi, menguatkan, bersinergi, dan bersatu dalam ketaatan serta ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan dari binatang ternak, Dia menciptakan pasangan-pasangan (jantan dan betina), dan dengan cara itu Dia mengembangbiakkan kalian.” (QS. Asy-Syura: 11)
Dalam ayat ini, Allah menegaskan tentang sunnatullah dalam penciptaan, bahwa Dia dengan sengaja menciptakan laki-laki dan perempuan, jantan dan betina, agar mereka berkembang biak. Maka, propaganda LGBT jelas bertentangan dengan sunnatullah dan fitrah manusia. Seharusnya laki-laki dan perempuan berpasangan dan bersinergi, sebagaimana jantan dan betina yang diciptakan untuk saling berhubungan secara biologis agar berkembang biak. Jika ketentuan ini dilanggar, maka yang terjadi adalah kepunahan, karena Allah menciptakan laki-laki dan perempuan agar manusia dapat berkembang biak.
Jika laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan, maka tidak ada gunanya Allah menciptakan Hawa bagi Adam. Ini adalah logika sederhana yang membuktikan bahwa perilaku tersebut bertentangan dengan hukum alam dan mengancam kelestarian manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Ayat ini merupakan kaidah agung dalam tauhid asma wa sifat. Jika sebelumnya kita berbicara tentang tauhid rububiyah yang mengantarkan kepada tauhid uluhiyah, kini kita berbicara tentang tauhid asma wa sifat.
Al-Imam As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, firqah najiyah (golongan yang selamat), dan thaifah manshurah (golongan yang mendapatkan pertolongan), yaitu mereka yang berpegang teguh kepada ajaran Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Ayat ini menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan makhluk.
Dalam ayat ini juga terdapat sanggahan terhadap kelompok musyabbihah, yaitu kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Tidak ada satu pun makhluk yang menyerupai Allah, sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya: لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya).
Kelompok musyabbihah membayangkan sifat-sifat Allah seperti sifat makhluk. Misalnya, ketika Allah disebut memiliki “tangan,” mereka membayangkannya seperti tangan manusia. Ketika Allah dikatakan beristiwa (bersemayam) di atas ‘Arsy, mereka membayangkannya seperti seorang raja yang duduk di singgasana. Ini adalah bentuk tasybih (penyerupaan) yang keliru, padahal Allah telah menegaskan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang menyerupai-Nya.
Di sisi lain, ayat ini juga menjadi bantahan terhadap kelompok mu’athilah, yaitu kelompok yang meniadakan sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya sendiri dalam Al-Qur’an maupun melalui sabda Rasul-Nya. Ketika Allah menegaskan bahwa Dia السَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ (Maha Mendengar, Maha Melihat), maka sifat ini harus diimani tanpa menolaknya. Namun, kelompok mu’athilah justru menafikan sifat-sifat Allah, seperti menolak bahwa Allah memiliki tangan atau bersemayam di atas ‘Arsy, padahal Allah sendiri telah menetapkannya dalam firman-Nya.
Maka, yang benar adalah metode Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam memahami sifat-sifat Allah, yaitu dengan menetapkan apa yang telah Allah tetapkan bagi diri-Nya sendiri dalam Al-Qur’an dan apa yang telah Rasulullah ﷺ tetapkan dalam sunahnya, tanpa tahrif (mengubah makna), ta’thil (meniadakan), takyif (menanyakan bagaimana caranya), atau tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Tasbih tanpa menyerupakan tidak diperbolehkan. Meskipun kita menetapkan bahwa Allah memiliki tangan, kita tidak boleh membayangkan bahwa tangan Allah seperti tangan kita. Kita tidak boleh membayangkan bentuk tangan Allah, apakah seperti tangan raksasa atau bagaimana pun bentuknya. Yang kita lakukan adalah menetapkan bahwa Allah memiliki tangan tanpa menyerupakannya dengan tangan makhluk. Namun, kita juga tidak boleh menghilangkan atau meniadakan sifat tersebut karena Allah sendiri telah menyatakan dalam firman-Nya:
يدُ اللهِ فوقَ أَيْدِيهِمْ
“Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka.” (QS. Al-Fath: 10)
Sebagian ulama menakwilkan kata “yadullah” sebagai kekuasaan Allah. Hal ini dilakukan dalam rangka mentanzih (mensucikan) Allah dari keserupaan dengan makhluk. Dalam usaha menjaga kesucian Allah dari penyerupaan dengan makhluk-Nya, ada yang berpendapat bahwa kata “yadullah” harus ditakwil sebagai “qudratullah” (kekuasaan Allah). Namun, menurut Syaikh As-Sa’di, ayat ini merupakan dalil untuk menetapkan sifat Allah tanpa mentasybih (menyerupakan dengan makhluk).
Dalam praktiknya, kita cukup mengimani bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya:
الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى
“(Allah) Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5)
Kita mengimani ayat ini sebagaimana adanya, tanpa membayangkan bagaimana caranya dan tanpa menyerupakannya dengan bersemayamnya makhluk. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Malik:
الإِسْتِوَاءُ مَعلُومٌ وَالكَيْفُ مَجْهولٌ وَالِإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Al-Istiwa’ (bersemayam) itu sudah diketahui, caranya tidak diketahui, mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.”
Jadi, kita cukup mengimani sifat Allah sebagaimana yang Allah tetapkan sendiri dalam Al-Qur’an dan yang Rasulullah sampaikan dalam hadisnya, tanpa takwil, tanpa membayangkan bentuknya, serta tanpa menyerupakan dengan makhluk.
Sebagian ulama menakwilkan sifat-sifat Allah dengan maksud untuk mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Namun, pendapat yang paling selamat adalah menetapkan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa takwil atau ta’thil (meniadakan). Ini adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dijelaskan oleh Imam As-Sa’di dalam tafsirnya.
Allah memiliki perbendaharaan langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:
لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَالِأَرْضِ
“Milik-Nya lah perbendaharaan langit dan bumi.” (QS. Az-Zumar: 63)
Ini adalah dalil bahwa Allah tidak hanya menciptakan langit dan bumi, tetapi juga memilikinya secara mutlak. Berbeda dengan manusia yang bisa menciptakan sesuatu tetapi tidak selalu memilikinya. Seorang tukang kayu bisa membuat meja dan kursi, tetapi ia tidak selalu memilikinya karena bisa saja barang itu dimiliki oleh pemilik mebel atau dijual kepada orang lain. Namun, penciptaan Allah berbeda; Dia menciptakan dan sekaligus memiliki secara mutlak.
Allah juga yang menentukan rezeki bagi makhluk-Nya, sebagaimana firman-Nya:
يَبْسُطُ الْرِّزْقِ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ
“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Dia pula yang menyempitkannya.” (QS. Ar-Ra’d: 26)
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini mengajarkan konsep penting dalam ekonomi Islam. Keyakinan bahwa rezeki datang dari Allah adalah landasan yang harus diajarkan kepada anak-anak dan generasi muda kita. Banyak manusia yang stres, frustasi, bahkan sampai mencuri atau korupsi karena tidak memiliki keyakinan bahwa Allah yang mengatur rezeki. Allah melapangkan rezeki bagi sebagian orang dan menyempitkan bagi sebagian lainnya sesuai dengan hikmah dan keadilan-Nya yang sempurna.
Allah membagikan rezeki dengan kebijaksanaan, bukan karena ketidakadilan. Ada hikmah di balik rezeki yang berlimpah maupun yang terbatas. Oleh karena itu, manusia harus bersyukur atas apa yang diberikan Allah dan yakin bahwa di balik semua ketetapan-Nya terdapat kebaikan yang tersembunyi.
Poin tarbiah iqtisadiah sangat penting dalam kehidupan. Jika seseorang meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah dan tujuan tertentu yang insyaallah baik bagi hamba-Nya, maka kita tidak akan frustrasi atau stres ketika tidak memiliki uang. Begitu pula, kita tidak akan sombong ketika Allah memberikan kelebihan rezeki, karena kita sadar bahwa semua itu adalah karunia dari Allah. Saat kaya, tidak menjadi sombong, dan saat miskin, tidak menjadi stres atau frustrasi.
Karena kita tahu bahwa الرِّزْقُ مَقْسُوْمٌ (rezeki sudah dibagi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), maka kita tidak akan berlebihan dalam mencarinya, apalagi sampai melakukan korupsi, mencuri, atau terjerumus dalam transaksi riba. Kita juga tidak akan mengemis kepada manusia dan menghinakan diri di hadapan mereka, serta tidak akan terjebak dalam perkara syubhat. Orang yang memahami konsep ini tidak akan melakukan hal-hal tersebut. Inilah poin penting dalam tarbiyah iqtisadiah yang harus kita ajarkan kepada anak-anak dan murid-murid kita.
Semua sudah ada timbangannya dan ukurannya. Yang menarik, sebagaimana disampaikan oleh para ulama, semua ini Allah lakukan dengan penuh hikmah. Ada banyak hikmah di balik rezeki yang Allah lapangkan dan sempitkan. Ini adalah bentuk keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adil bukan berarti harus sama. Ada hamba-hamba tertentu yang jika diberikan kekayaan, justru akan menggunakannya untuk kemaksiatan dan dosa, sehingga Allah memilih untuk menjadikannya miskin. Sebaliknya, ada hamba yang jika diberi kekayaan, ia akan menggunakannya untuk kebaikan, zakat, sedekah, dan perjuangan di jalan Allah, maka Allah melapangkan rezekinya.
Sebaliknya, ada orang yang jika miskin, justru semakin dekat kepada kekufuran. Artinya, semua ini memiliki hikmah dan tujuan. Ada orang yang jika diberi kekayaan, ia akan ingkar, lalai, dan menjauh dari ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua ini memiliki hikmah, tujuan, dan ukuran yang telah Allah tentukan dengan penuh akurasi dan presisi.
Allah berfirman:
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra: 30)
Allah Maha Mengetahui apa yang maslahat bagi hamba-Nya. Terkadang, bagi sebagian orang, lebih maslahat baginya jika miskin daripada kaya, atau sebaliknya. Maka yang harus kita lakukan adalah husnuzan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak perlu terlalu larut dalam kesedihan dan meratapi keadaan. Justru kita harus bersyukur atas rezeki yang diberikan, sehingga bisa beribadah dengan maksimal, menuntut ilmu, membaca Al-Qur’an, dan salat dengan khusyuk. Ini adalah kenikmatan yang lebih dari segalanya.
Allah berfirman:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
“Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain.” (QS. An-Nisa: 32)
Rezeki sudah terbagi dan tidak akan salah alamat. Dalam sebuah hadis shahih dijelaskan bahwa seorang hamba tidak akan dicabut nyawanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum rezeki yang telah ditentukan baginya diberikan sepenuhnya.
Jika kita memahami hal ini, maka untuk apa kita mengejar kekayaan dengan cara-cara yang haram seperti korupsi dan riba? Allah telah menetapkan rezeki kita, tetapi cara memperolehnya adalah pilihan kita. Sebagaimana kisah yang masyhur dari Ali bin Abi Thalib (ada juga yang menyebutkan Umar bin Khattab), ketika beliau dalam perjalanan, beliau berhenti di sebuah masjid untuk salat. Di sana, beliau menitipkan tunggangannya kepada seorang anak dan berniat memberikan dua dirham sebagai imbalan. Namun, setelah selesai salat, beliau mendapati tali kekang tunggangannya hilang. Kemudian, beliau menyuruh seseorang untuk membeli tali kekang di pasar dan ternyata menemukan tali kekang yang hilang itu telah dijual oleh anak tadi dengan harga dua dirham.
Umar bin Khattab pun menangis. Bukan karena kehilangan tali kekang, tetapi karena pelajaran berharga dari Allah tentang rezeki yang telah ditentukan. Seandainya anak itu tidak mencuri, ia tetap akan mendapatkan dua dirham. Sayangnya, ia memilih jalan yang salah untuk mendapatkannya.
Hal ini mengajarkan kita bahwa Allah-lah yang melapangkan dan menyempitkan rezeki. Jika kita meyakini bahwa Allah yang memberi rezeki, maka kita tidak akan menggantungkan rezeki kita kepada selain-Nya, dan kita tidak akan mencarinya dengan cara yang tidak diridai-Nya.
ambil dari pembahasan ini, baik tarbiah rabbaniah, tarbiah ala rububiyatillah, maupun tarbiah tentang keyakinan bahwa Allah-lah yang Maha Memberikan rezeki, melapangkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dengan hikmah dan keadilan yang sempurna.
The post Tafsir Tarbawi QS. Asy-Syura Ayat 11-12: Tauhid, Sunnatullah, dan Hikmah Rezeki appeared first on Majelis Tabligh – Pimpinan Pusat Muhammadiyah.