Oleh KH. Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
وَمَنْ نُّعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِى الْخَلْقِۗ اَفَلَا يَعْقِلُوْنَ وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لَهٗ ۗاِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَّقُرْاٰنٌ مُّبِيْنٌ ۙ لِّيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَّيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ
Siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami balik proses penciptaannya (dari kuat menuju lemah). Maka, apakah mereka tidak mengerti?. Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Nabi Muhammad) dan (bersyair) itu tidaklah pantas baginya. (Wahyu yang Kami turunkan kepadanya) itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Al-Qur’an yang jelas. agar dia (Nabi Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan agar ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir itu menjadi pasti.
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kepada kita semua begitu banyak kenikmatan-Nya, begitu banyak karunia-Nya, lebih-lebih adalah karunia iman, karunia Islam, dan karunia thalabul ilmi. Insya Allah, pada kesempatan malam hari ini kita akan melanjutkan mentadaburi dan merenungi ayat ke-68, 69, dan 70. Insya Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala setelah menjelaskan bagaimana dahsyatnya kehidupan nanti di akhirat, di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, saat mahsyar, saat hisab, saat mizan, dan saat shirat, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala melanjutkan pada ayat berikutnya:
“Wa man nu’ammirhu nunakkishu fil khalqi afala ya’qilun.” (QS. Yasin: 68)
Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya, niscaya Kami kembalikan dia kepada keadaan semula. Maka, apakah mereka tidak mengerti?
Di sini ada dua qiraat atau cara membaca. Yang pertama adalah “nunakkishu,” sebagaimana yang biasa kita baca, dan ada juga yang membacanya dengan “nangqishu.” Insya Allah, kurang lebih maknanya sama. “Fil khalqi,” Kami kembalikan pada penciptaannya, yaitu penciptaannya di waktu pertama kali diciptakan, yakni dalam keadaan lemah.
Terjemah tafsiriyahnya adalah, barang siapa yang Kami panjangkan umurnya—karena ada yang umurnya panjang dan ada yang pendek—maka orang yang dipanjangkan umurnya sampai 60 tahun, 70 tahun, 80 tahun, 100 tahun, dan seterusnya, “nunakkishu” akan Kami kembalikan kepada kondisinya semula, yaitu kondisinya ketika masih bayi, ketika baru diciptakan dan baru dilahirkan.
Al-Sa’di menjelaskan bagaimana manusia itu kembali kepada kondisi awalnya, yaitu “al-hal” atau kondisi lemah, baik itu kelemahan akal maupun fisik. Dulu waktu kecil, berbicara masih pelo, tidak paham ketika diajak berbicara, berpikirnya belum bisa diajak untuk memahami banyak hal, dan tidak nyambung. Nah, orang yang dipanjangkan umurnya nanti akan kembali ke situ. Bukan hanya sekadar tidak nyambung, tetapi menjadi pikun. Oleh karena itu, berbicara dengan orang tua harus dengan sabar, harus pelan-pelan, karena tabiat umum manusia seperti itu. Meskipun ada juga yang sudah sepuh, tetapi masih nyambung diajak berbicara dan tidak pikun. Itu bukan sesuatu yang mustahil.
Kemudian ada kelemahan secara fisik. Sudah tidak bisa berjalan sendiri, harus memakai tongkat, harus memakai kursi roda, bahkan ke kamar mandi pun harus dipapah. Itu adalah kondisi manusia ketika lanjut usia secara umum. Meskipun ada yang sudah 80 tahun tetapi masih lincah, secara umum kondisinya seperti itu. Begitulah manusia yang kembali ke kondisi semula, yaitu kondisi lemah, baik secara akal maupun fisik.
Ada poin tadabur yang luar biasa dari Ibnu Katsir dalam hal ini. Beliau menjelaskan betapa manusia itu sangat lemah, dan betapa dunia ini begitu fana dan berubah, tidak tetap. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan pemberitahuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang dunia ini, bahwa dunia adalah negeri yang akan musnah, akan hilang, dan akan pergi. Semuanya berpindah dan tidak tetap. Yang kecil menjadi remaja, remaja menjadi dewasa, dewasa kemudian tua, habis tua mati. Begitu juga tumbuh-tumbuhan, tumbuh dari bibit, kemudian menjadi tanaman kecil, lalu berkembang, tumbuh, dan berbuah. Ada yang bertahan sekian bulan, ada yang bertahan sekian tahun, tetapi akhirnya tetap akan mati juga.
Orang sering berkata bahwa bumi semakin tua. Baik kondisi buminya sendiri maupun fenomena alam yang terjadi, seperti gempa vulkanik, tektonik, dan perubahan atmosfer. Lapisan ozon yang semakin menipis menunjukkan bahwa dunia ini bukan negeri yang tetap, bukan negeri yang langgeng, tetapi menurut Ibnu Katsir adalah negeri yang akan musnah, negeri yang akan pergi, dan negeri yang akan menghilang. Dunia ini akan berpindah kepada negeri berikutnya, bukan negeri yang tetap langgeng.
Beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat ke-68 ini adalah bahwa dunia ini fana, kehidupan ini fana, bahkan manusia pun fana. Oleh karena itu, yang masih muda jangan merasa akan muda selamanya, yang kaya jangan merasa akan kaya selamanya, yang tampan dan cantik jangan berpikir akan tampan dan cantik selamanya. Akan ada masanya nanti kulit menjadi keriput, tubuh melemah, dan kekuatan menghilang. Maka, jangan gunakan kegantengan, kecantikan, kekayaan, dan masa muda untuk hal-hal yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena semuanya akan dipertanggungjawabkan.
Pada hari kiamat nanti, tidak akan bergerak kaki seorang hamba di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum ditanya empat perkara: tentang umurnya untuk apa ia gunakan, tentang masa mudanya untuk apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, serta tentang ilmu yang pernah ia dapatkan, apakah sudah diamalkan atau belum.
Kesadaran akan kefanaan kehidupan ini perlu kita tanamkan. Begitu cepat waktu berlalu. Masih ingat dulu masa-masa SMP, masa-masa SMA, sekarang sudah menikah, sudah punya anak, rambut sudah mulai beruban. Tiba-tiba usia sudah 30 tahun, 40 tahun, 50 tahun, begitu cepat. Meskipun hati ingin selalu muda, kenyataannya waktu terus berjalan.
“Wa man nu’ammirhu nunakkishu fil khalqi afala ya’qilun.”
Mengapa mereka tidak berpikir? Mengapa mereka tidak menggunakan akal? Mengapa mereka terus-menerus terikat dengan dunia? Mengapa mereka terus-menerus terjebak dalam jeratan-jeratan setan? Mengapa mereka hanyut dalam arus kehidupan yang tidak ada hentinya?
Dan tidak segera sadar bahwa kita semakin tua, bahwa argo umur kita terus berjalan, dan semuanya ini—detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun—akan kita pertanggungjawabkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian ayat berikutnya: “Dan tidaklah Kami ajarkan kepadanya syair.”
Kata wama dalam ayat ini berarti “dan tidaklah.” Ma di sini adalah ma nafi (kata untuk penafian). Kata allamnahu berarti “Kami ajarkan kepadanya,” dan kembalinya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Selanjutnya, wama yanbaghi lahu berarti “dan tidaklah pantas baginya,” di mana yanbaghi berarti “sepantasnya,” sedangkan lahu berarti “baginya,” yang kembali lagi kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ayat ini menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Rasulullah bukanlah syair. Kata illa dalam ayat ini berarti “kecuali,” sedangkan dzikrun berarti “peringatan” atau “zikir.” Selanjutnya, waqur’anun mubin berarti “dan Al-Qur’an yang menjelaskan.”
Ada beberapa penafsiran mengenai ayat ini. Pertama, ayat ini merupakan bantahan kepada orang-orang kafir yang menuduh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai penyair. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah adalah “syairum majnun” (penyair yang gila). Orang-orang kafir mendustakan Al-Qur’an yang disampaikan oleh Rasulullah, meskipun keindahan lantunannya, susunan kata-katanya, dan bait-baitnya begitu menakjubkan. Mereka menuduhnya sebagai syair belaka. Maka, ayat ini adalah bantahan terhadap tuduhan tersebut.
Allah menegaskan bahwa tidaklah Dia mengajarkan syair kepada Rasulullah, karena yang diajarkan kepadanya adalah wahyu, bukan syair. Yang beliau sampaikan bukanlah hasil kreasi pribadinya, melainkan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya, in huwa illa wahyuyyuha (tidaklah ia kecuali wahyu yang diwahyukan). Dengan demikian, ayat ini membantah tuduhan orang-orang kafir yang menganggap Rasulullah sebagai penyair.
Dalam beberapa riwayat, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebelum diutus sebagai nabi dikenal sebagai seorang ummi (buta huruf), yang tidak bisa membaca dan menulis. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis dapat menciptakan syair? Bagaimana mungkin ia bisa merangkai bait-bait puisi yang begitu indah? Rasulullah bahkan tidak mampu menghafal syair-syair dalam wazenin muntazin (timbangan yang teratur) atau dengan sajak yang berirama.
Ibnu Katsir juga menyebutkan bahwa Abdul Muthalib, kakek Rasulullah, memiliki anak-anak yang pandai bersyair. Seluruh anak laki-laki dan perempuan Abdul Muthalib memiliki kemampuan dalam bersyair, kecuali Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ini menunjukkan hikmah Allah, bukan karena kekurangan Rasulullah, tetapi sebagai bukti bahwa apa yang disampaikannya bukanlah syair, melainkan wahyu.
Seandainya Rasulullah mahir bersyair seperti saudara-saudaranya, orang-orang Quraisy akan menuduhnya menciptakan Al-Qur’an sendiri. Namun, faktanya, Rasulullah tidak bisa bersyair, berbeda dengan paman-pamannya dan sepupu-sepupunya. Bahkan, beliau disebut sebagai ummi. Oleh karena itu, jelaslah bahwa yang beliau sampaikan bukanlah hasil karyanya sendiri, melainkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ada pula hikmah tarbawiyah dari ayat ini. Jika seseorang melihat dengan kacamata kebencian, maka ia akan menganggap ketidakmampuan Rasulullah dalam bersyair sebagai suatu kekurangan. Padahal, biasanya seorang pemimpin dikenal memiliki retorika yang luar biasa, mampu menyampaikan narasi yang memikat, dan membuat pendengarnya terpana. Namun, Rasulullah tidak bisa bersyair. Mengapa? Karena syair bukanlah kelas beliau. Rasulullah memiliki sesuatu yang jauh lebih tinggi dari sekadar syair, yaitu Al-Qur’an.
Ini menjadi peringatan bagi kita bahwa sehebat apa pun syair, sedalam apa pun maknanya, seindah apa pun sebuah lagu atau nasyid, ia tidak akan pernah bisa menandingi Al-Qur’an. Jika kita ingin berada dalam kelas yang tinggi, maka kita harus berada dalam kelasnya Rasulullah, yaitu kelas Al-Qur’an. Bukan kelas puisi, bukan kelas nyanyian, bukan kelas kutipan-kutipan dari orang yang kita tidak tahu bagaimana kehidupannya. Kelas kita adalah kelas Al-Qur’an.
Sering kali muncul pertanyaan tentang hukum musik atau syair. Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kita mengarahkan diri kita untuk memilih yang lebih utama. Jika ingin berada dalam kelas Rasulullah, maka yang kita hafalkan, kita senandungkan, kita dengarkan, dan kita nikmati seharusnya adalah Al-Qur’an, bukan yang lain.
Manusia memiliki kebutuhan seni, yaitu menikmati sesuatu yang indah, lantunan yang berirama, dan sajak yang tertata. Ini adalah kebutuhan jiwa yang tidak boleh diabaikan, karena bisa berpengaruh terhadap adab, akhlak, dan perilaku seseorang. Para raja diajarkan syair untuk memperhalus budi pekerti mereka. Orang-orang Barat mengajarkan musik kepada anak-anak mereka dengan filosofi tertentu. Namun, sebagai seorang Muslim, kelas kita bukanlah lagu-lagu duniawi, melainkan kalamullah.
Al-Qur’an memiliki keindahan tersendiri yang mampu menenangkan jiwa. Bahkan orang-orang kafir yang mendengarnya bisa merasakan ketenangan. Ada banyak eksperimen sosial di berbagai kota besar dunia, di mana seseorang memperdengarkan Al-Qur’an di jalanan, lalu orang-orang yang mendengarnya merasa damai, meskipun mereka tidak tahu bahwa itu adalah Al-Qur’an. Begitu besar daya pengaruhnya.
Jika kita sedang stres dan ingin merasa tenang, bukan mendengarkan keroncong atau lagu kenangan yang harus kita pilih, tetapi mendengarkan Al-Qur’an. Jika ingin semangat, bukan mendengarkan lagu-lagu tertentu, tetapi mendengarkan Al-Qur’an. Daya pengaruh lagu atau nasyid memang ada, tetapi sifatnya sangat sementara. Seseorang bisa cepat bosan. Sebaliknya, Al-Qur’an memberikan efek yang mendalam dan abadi.
Sebagai seorang Muslim, kelas kita haruslah kelas Rasulullah, kelas para sahabat, yaitu kelas Al-Qur’an. Sesekali mendengarkan syair atau nasyid tidaklah mengapa, tetapi jangan sampai kita menjadi ketergantungan hingga melalaikan Al-Qur’an. Barakallah.
Allah berfirman, “Dan tidaklah Kami ajarkan kepadanya syair, dan itu tidaklah pantas baginya.” Maksudnya, tidak sepantasnya bagi Rasulullah untuk menjadi seorang penyair. Yang ia sampaikan bukanlah syair, melainkan dzikir dan Al-Qur’an yang menjelaskan. Kalimat ini tidak menyebutkan objek yang dijelaskan oleh Al-Qur’an secara spesifik, agar cakupannya lebih luas dan mencakup semua aspek kebenaran dan keilmuan.
Al-Qur’an diturunkan sebagai peringatan bagi siapa? Liyundzira man kana hayyan—agar memberi peringatan bagi siapa yang hidup. Kata hayyan dalam ayat ini memiliki beberapa tafsiran. Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai “semua yang hidup di atas muka bumi.” Namun, ada juga ulama yang menafsirkan bahwa hayyan berarti “orang yang berakal.” Dengan kata lain, Al-Qur’an menjadi peringatan bagi siapa saja yang memiliki akal untuk memahami kebenaran.
Hewan memang hidup tetapi tidak berakal. Tumbuh-tumbuhan juga hidup tetapi tidak berakal, maka tidak masuk dalam hal ini. Jadi, yang dimaksud adalah yang berakal.
Sebagaimana yang disebutkan oleh At-Tabari dan diperkuat oleh As-Sa’di, yang dimaksud dengan “hayyan” di sini adalah “hayyul qalbi,” yaitu hati yang hidup. Artinya, peringatan itu—berdasarkan pendapat ini—hanya bisa bermanfaat bagi orang-orang yang hatinya hidup. Jika hatinya mati, maka peringatan tidak akan ada manfaatnya. Hati-hati orang kafir yang sudah tertutup, yang sudah termaktum, tidak akan mendapatkan manfaat dari peringatan.
Dengan demikian, sebenarnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang hatinya hidup, yang memiliki keimanan atau setidaknya potensi keimanan. Hal ini sebagaimana yang dinukil oleh Imam At-Tabari dan diperkuat oleh para ulama.
Ada faedah tarbawiyah yang penting untuk kita perhatikan. Al-Qur’an akan memberi manfaat dan pengaruh kepada orang-orang yang memiliki modal keimanan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jundub bin Abdullah—sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan disahihkan oleh Al-Albani—”Kami dulu, ketika masih kecil, belajar iman terlebih dahulu sebelum kami belajar Al-Qur’an. Setelah kami belajar iman, barulah kami belajar Al-Qur’an. Maka dengan belajar Al-Qur’an itu, iman kami bertambah.”
Dari sini, mulai banyak muncul konsep pendidikan seperti “Al-Iman sebelum Al-Qur’an.” Artinya, iman didahulukan sebelum belajar Al-Qur’an, kemudian ditambah lagi dengan adab. Belajar adab dulu, baru belajar ilmu. Ini selaras dengan apa yang kita pelajari. Konsep-konsep pendidikan yang ada sekarang, baik di berbagai lembaga pendidikan Islam, mulai mengarah ke konsep ini.
Sering muncul pertanyaan, “Mengapa harus dipisah? Bukankah belajar Al-Qur’an berarti juga belajar iman?” Maksudnya begini, “ta’allamnal iman” yang dimaksud di sini adalah “ushulul iman.” Para sahabat ketika itu, sebagaimana dikatakan oleh Jundub bin Abdullah, belajar pokok-pokok keimanan langsung dari Rasulullah ﷺ dengan mempelajari dasar-dasar keimanan secara amali.
Al-Qur’an adalah kitab yang membahas banyak hal; di dalamnya terdapat hukum-hukum, akhlak, dan beberapa hal yang sifatnya teknis. Para sahabat mempelajari dasar-dasar keimanan terlebih dahulu, lalu mereka mempraktikkannya. Sebagian lembaga pendidikan Islam menerapkan kurikulum iman sebelum kurikulum Al-Qur’an. Maksud “Al-Qur’an” di sini adalah hal yang sifatnya tafsili, seperti cara membaca, menghafal, memahami hukum-hukumnya, hingga qira’atnya. Sebelum itu semua, mereka diajarkan ushul iman terlebih dahulu. Dengan demikian, ketika belajar Al-Qur’an, keimanan mereka bertambah.
Jika sebaliknya, di mana akidah masih dasar dan belum kokoh tetapi sudah belajar hal-hal detail dalam Al-Qur’an, maka bisa terjadi ketimpangan. Itulah sebabnya banyak orang menghafal Al-Qur’an hanya demi target, sekadar ingin disebut hafiz atau qari. Jika niatnya hanya untuk mendapatkan pengakuan, maka hal itu tidak bernilai ibadah. Dalam hadits, orang yang menghafal Al-Qur’an dengan niat seperti itu justru akan dicampakkan ke neraka.
Inilah makna “hayyan” yang dimaksud dalam ayat, yaitu “hayyul qalbi,” hati yang hidup, yakni hati orang-orang yang beriman. Sebaliknya, bagi orang-orang kafir, Al-Qur’an menjadi hujjah atas mereka. Sebagaimana disebutkan oleh As-Sa’di, “Li annahum qamat ‘alaihim bihi hujjatullah,” artinya ketika peringatan telah diberikan kepada mereka, itu menjadi hujjah (alasan kuat) bagi Allah untuk mengazab mereka. Mereka tidak bisa lagi berdalih, “Kenapa aku diazab? Aku belum tahu mana yang benar dan mana yang salah.” Dalam surah Al-Mulk disebutkan bahwa para penjaga neraka akan bertanya kepada para penghuni neraka, “Alam ya’tikum nadzir?” (Bukankah sudah datang kepada kalian pemberi peringatan?). Ini menunjukkan keadilan Allah, bahwa Dia tidak akan menzalimi hamba-hamba-Nya.
Dalam kondisi tertentu, ada orang-orang yang memang tidak pernah menerima dakwah—misalnya mereka yang hidup di pedalaman hutan dan tidak pernah bertemu manusia maupun teknologi. Menurut pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka akan mendapatkan “ikhtibar” (ujian) di akhirat. Mereka akan ditanya apakah mereka beriman kepada Allah atau tidak. Jika beriman, mereka masuk surga, jika tidak, mereka masuk neraka.
Secara umum, Allah tidak akan mengazab suatu kaum kecuali setelah memberikan peringatan terlebih dahulu. Dari sisi tarbawi, ini menunjukkan keadilan Allah. Dari sisi dakwah, ini menunjukkan pentingnya “iqamatul hujjah” (menegakkan hujjah) sebelum memberi vonis. Dalam peperangan pun, jihad yang bersifat ofensif tidak boleh langsung dilakukan tanpa didahului dengan dakwah atau ultimatum. Begitu juga dalam menetapkan seseorang sebagai kafir, harus ada proses iqamatul hujjah dan istitabah (meminta seseorang untuk bertobat).
Banyak orang tergesa-gesa dalam menghakimi orang lain, mudah mengkafirkan, atau menyesatkan orang lain tanpa menegakkan hujjah terlebih dahulu. Padahal dalam Islam, sebelum seseorang dihukumi keluar dari Islam, harus dilakukan proses peringatan terlebih dahulu. Bahkan para ulama menetapkan batas waktu tertentu untuk orang yang perlu diberikan peringatan sebelum divonis keluar dari Islam.
The post Menghadapi Kehidupan Dunia yang Fana: Tafsir Q.S Yasin ayat 68-70 appeared first on Majelis Tabligh – Pimpinan Pusat Muhammadiyah.